CERPEN NGACO : MAT RAMBO

Image

Dasawarsa pertama di milenium ketiga. Tatkala teknologi dunia persunatan memasuki era laser dan radiasi sinar gamma, Mat Rambo tetap tegak menantang keangkuhan jaman. Profesi dukun sunat yang diembannya turun temurun tak terguncang sedikit pun. Malahan, pengguna jasanya lebih terkesan militan. Berawal dari sang Kakek yang sukses disunat leluhur Mat Rambo, berlanjut ke sang anak, hingga berkesinambungan di era sang cucu. Mat Rambo dan leluhur-leluhurnya, dengan peralatan caplokan bambu yang sederhana –terbukti berhasil membuat si pasien mempertaruhkan nasib “burung”nya di tangan Mat Rambo.

Nama asli Mat Rambo tiada yang tahu. Dan sepertinya, sudah menjadi kutukan bahwa Mat Rambo dan leluhurnya selalu dikenal bukan dengan nama aslinya. Salah seorang kawanku begitu mengagumi Mat Rambo. Dia bernama Rahman.

“Mat Rambo itu seorang maestro. Dia layak mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang persunatan. Dia setara dengan Dr.Ing BJ Habibie di dunia penerbangan. Bayangkan, betapa tinggi jam terbang Mat Rambo. Ibarat memotong kemaluan sambil memejam mata –sang pasien tak mungkin celaka,” begitu Rahman berujar kepadaku.

“Ngawur kau, Man. Istilahmu menyundul langit. Terlalu muluk buat Mat Rambo,” balasku menimpali

“dan ingat, Man. Kau ini cakap di pelajaran Biologi. Lulusan SMU pula. Tiap omongan harusnya dilandasi bukti ilmiah. Mat Rambo memang cakap di bidangnya, tetapi kemajuan jaman seharusnya menggeser metode sunat Mat Rambo yang cuma mengandalkan caplokan bambu. Terlalu Riskan kataku ! terlalu beresiko !” lanjutku

“bayangkan, era numerik begini masih memotong kemaluan pake bamboo ?!  apa kata dunia ..” aku geleng-geleng kepala.

“Sunat pake bambu harusnya sudah dilarang sejak runtuhnya tembok Berlin. Beruntunglah selama ini tidak terjadi mal-praktek. Coba kalau mal-praktek, suram masa depan pasiennya, ha-ha-ha” pungkasku tertawa-tawa. Puas.

Kupandang Rahman, dia garuk-garuk kepala. Tersenyum kecut.

“Bukankah Mat Rambo juga yang memotong kemaluanmu ? kau ini pemuda yang tak kenal balas budi !” balasnya

“ya ! ya ! memang Mat Rambo,“

“itu artinya Mat Rambo sudah membuktikan kepiawaiannya,”

“eits. Tak bisa begitu, Man”

“kenapa, Tidak ?! toh kemaluanmu berfungsi seratus persen !”

“tapi jaman sudah berbeda, Man ! hasil sunatan caplokan bambu tak serapi pake sinar laser,” tangkisku.

“rapi sih rapi ! sunatan pake laser mempengaruhi kemampuan seksual !”

“halah !! itu cuma mitos, Man !” tukasku  “tak terbukti secara ilmiah !”

Rahman geleng-geleng kepala. Menatapku sinis. Lantas melengos seperti monyet gagal berebut betina.

“percuma berdebat denganmu. Berdebat dengan manusia yang lupa tradisi sama halnya mendorong kereta api mogok. Buang-buang energi !”

“HAHAHAHA !” aku terbahak mendengarnya. Menang rasanya melihat Rahman jengkel.

“lagian, Man. Kenapa kau begitu mengagumi Mat Rambo ? pikiranmu waras ?” aku memancing lagi.

“hei, dengar ya ! kalau dunia perkerisan punya Mpu Gandring, dunia persunatan punya Mat Rambo,”

“kau serius ?!” aku terkejut

“mana pernah urusan begini bergurau,” nada Rahman serius.

“kusarankan kau lebih menghargai nilai luhur tradisi. Tak selamanya teknologi mutakhir mengalahkan warisan leluhur,”

Aku tersudut. Tapi –

“kalimatmu hiperbolis, Kawan” ujarku yang menahan tawa. Rahman tersenyum kecut.

“Kau tak pernah tahu jika Mat Rambo berpuasa sebelum memotong kemaluanmu. Dia mempersiapkan mental. Kau juga tak pernah tahu jika Mat Rambo membungkus potongan kemaluanmu dengan kain kafan dan menguburnya. Mana ada dokter spesialis memperlakukan potongan kemaluanmu dengan SAKLAR seperti Mat Rambo ?!”

“sakral maksudmu ?”

“ah,ya ! Sakral ! bukannya Saklar !”

Aku tertawa mendengar Rahman keseleo lidah. Tapi jujur, harus kuakui aku salut jika Mat Rambo berbuat demikian.

“Hei, Man. Mengapa Mat Rambo berbuat demikian ?” aku nyaris kencing menahan tawa.

“Kalau kau lihat gadis cantik berkeliaran, patut kau tanya dimana bapaknya sunat di masa kecil. Jawabnya pasti di Mat Rambo,”

“memangnya ada korelasi kecantikan versus metode sunatan ?” aku jengkel. Perutku kaku kebanyakan tertawa. “Cantik dan jeleknya seseorang tergantung gen Bapak-ibunya,Man. Begitu kata Gregor Mendel. Monyet jantan meskipun kemaluannya dipotong Mat Rambo –tak mungkin melahirkan cewek sebahenol Megan Fox, paham ?! ”

Hari itu perdebatanku dengan Rahman berakhir sampai disitu. Rahman bersungut-sungut tak terima. Aku puas membuatnya jengkel. Rahman bersikukuh menganggapku sebagai manusia yang lupa tradisi –atau manusia yang gampang silau dengan perubahan.

Saat itu Rahman meninggalkanku sambil menggenggam sumpah. Ya. Sumpah untuk membuktikan bahwa Mat Rambo masih pantas disebut maestro persunatan. Sekalian, Rahman bersumpah membawa pasien-pasien Mat Rambo di bulan Rajab yang akan datang. Rahman ingin membuktikan bahwa metode calak bamboo masih eksis dan tak tergulung kecanggihan jalan.

Menjelang bulan Rajab, ketika penduduk kampong berniat menggelar hajatan sunatan masal –Rahman dengan lobi politiknya berhasil memengaruhi forum rapat kampong untuk memakai jasa Mat Rambo. Alasan yang dipakai Rahman : lebih murah, lebih punya jam terbang, dan lagi –para lelaki dewasa yang turut rapat telah membuktikan kualitas Mat Rambo sebagai dukun sunat tanpa catatan mal-praktek.

Semua peserta rapat mengiyakan. Rapat yang telah memenuhi kuorum itu bersuara bulat bahwa mereka akan memakai jasa Mat Rambo yang dirasa lebih menguntungkan dari segala sisi. Tetapi –

“Man, coba kau bujuk si Cuplis agar ikut sunatan masal. Umurnya sudah 16 tahun,” Pak RT berujar demikian. “Emaknya selalu saja kandas membujuknya”, sambung Pak RT sambil mengerjab-ngerjab persis kancil kurang makan.

Halah ! si Cuplis lagi yang jadi biang keladi. Bocang bangkotan yang sudah pantas kawin tetapi bermental kadal. Sudah sembilan kali bocah tua itu lolos dari even sunatan masal.

“Beres, Pak. Beres. Kali ini biar Rahman yang turun tangan,” Rahman berujar sembari menepuk dada. Membanggakan diri.

***

Tibalah kemudian even sunatan masal. Pesertanya membludak. Ada 25 anak, tak terhitung di dalamnya si Cuplis. Rahman berjuang keras agar si Cuplis mengiyakan bujukannya.

“kau dapat sarung gratis, peci gratis, ditambah lagi uang saku dari Pak RT,” Rahman mengucap semanis mungkin

“aku tak butuh itu, Paklik. Sarungku sudah lusinan,” Cuplis membantah Rahman dengan menyebutnya Paklik. Aku tertawa mendengarnya.

Mungkin karena bujukannya yang tak mempan, Rahman terpaksa mengeluarkan jurus culasnya.

“semakin kau tunda waktu sunatmu, semakin alot burungmu. Bamboo tak mempan, pisau tak mempan, kau mau disunat pake kapak ?”

Cuplis terbelalak. Rahman bersungut-sungut. Kurasa seandainya Cuplis anak si Rahman, sudah digampar pula Cuplis saat ini juga.

“yang menyunatmu ini dukun sakti, Plis. Tak ada rasa sakit. Tak ada nyeri. Paling-paling terasa seperti digigit semut,”

“digigit semut ?” Cuplis terpengaruh

“ya. Semut yang jumlahnya jutaan !” timpalku

“husss !!!” Rahman menatapku marah. Cuplis ngeri membayangkan burungnya diserbu jutaan semut.

“sudahlah, Plis. Tak usah kau dengar mulutnya. Yang menyunatmu ini dukun sakti. Lebih sakti dari siapapun yang paling sakti di dunia potong burung. Kau tak usah khawatir,”

“iyakah ?” Cuplis masih memendam ngeri

“iya. Mana pernah aku bohong padamu ..” Rahman tersenyum lebar sambil sesekali mengangkat alis. Rahman lantas tertawa keras sambil menepuk-nepuk pundak Cuplis.

“betul, kan ? aku tak pernah bohong padamu ?” Rahman berlagak bijak

Tiba-tiba

“pernah ! sekali ! Paklik pernah bohong padaku !” Cuplis tiba-tiba menyalak

“ah, jangan mengada-ada. Kapan itu ?” Rahman memasang wajah bayi yang berdosa.

“Paklik masih ingat permainan lempar kacang ke dalam mulut ?”

“ya. Tentu,”

“saat lemparan yang ketiga, bukannya kacang yang Paklik lempar, tetapi tahi kelinci,”

Hahahaha ! sontak meledak tawaku. Rahman juga demikian.

“kurang ajar sekali kau, Man. Kurang ajar sekali kau masukkan kotoran kambing ke mulut Cuplis, ha ha ha !”

Rahman cengengesan. Cuplis monyong menahan kesal. Aku tertawa tak berkesudahan membayangkan polah si Rahman.

“meski aku pernah membohongimu, setelah itu aku tak pernah mengerjaimu lagi, kan ?”

Rahman kembali memasang wajah bayi

“iya, Paklik. Aku sudah memaafkannya,”

“bocah bagus, bocah bagus,” Rahman manggut-manggut sok bijak. Aku geli melihat kelicikannya.

“semua sudah impas, Paklik. Tak ada gunanya menyimpan marah, begitu kata Pak Ustad,“

Untuk sesaat Rahman terus cengengesan. Tapi-

Mendadak wajahnya berubah. Keningnya berkerut. Tatap matanya menaruh curiga.

“sudah impas katamu ?”

“ya. Sudah impas, Paklik,” Cuplis menjawab tegas

“saat Paklik menyuruhku membeli rujak uleg, kucampurkan gerusan tahi kambing di rujak Paklik,”

“apa ?!”

Plakk !!

“dasar sontoloyo !” kepala Cuplis dihadiahi tamparan ringan.

Giliran Rahman berwajah kecut, Cuplis cengengesan, aku tertawa hingga nyaris kencing di celana.

“bocah sontoloyo ! bangsat gemblung  !”

“dia bukannya sontoloyo,Man ! dia jenius ! jempol buatmu, Plis ! dua jempol sekaligus ! ha ha ha” kuacungkan dua jempol sekaligus di muka Cuplis.

“dasar kurang ajar kau, Plis. Betul-betul kurang ajar,”

“kuampuni kau, Plis. Tapi dengan satu syarat,” sambung Rahman

“kau harus bersedia disunat Mat Rambo. Atau –“

Rahman menghentian sendiri kalimatnya agar terkesan angker. Menarik nafas.

“atau aku sendiri yang akan menyunatmu. Pake kapak. Biar buntung burungmu aku tak peduli,”

Cuplis seketika terhenyak. Bergidik membayangkan kapak tumpul menebas ujung kemaluannya. Cuplis tak punya pilihan. Cuplis menyerah tanpa syarat –bersikap laiknya tawanan perang.

“baiklah, kau sudah menyatakan kesediaanmu. Kali ini kau harus menepati janjimu,”

“dan satu lagi yang harus kau ingat,”

Rahman lagi-lagi menghentikan kalimatnya –biar terkesan angker.

“cukur dulu bulu burungmu, jangan bikin malu !”

***

Tiga minggu berselang, datanglah hari yang dinanti. Seluruh peserta sunatan masal dijajar di deretan bangku –sambil mengenakan pakaian kebesaran. Sarung tenun bermotif kotak-kotak, baju koko warna putih, serta peci hitam dengan kualitas anti air. Semua terlihat cocok, tetapi –Cuplis lah yang terkesan menonjol lantaran postur tubuhnya yang lebih jumbo dibanding peserta lain. Menjelang acara inti, semua peserta sunatan memasang wajah gelisah –terlebih Cuplis.

Sementara di ruangan lain, Mat Rambo bin Arnold Jaelani tengah menyiapkan peralatan tempurnya. Gunting, jarum, benang, calak bamboo, perban pembalut –semua ditata rapi di atas meja. Mat Rambo kemudian melepas kemejanya. Otot-otot kekarnya bertonjolan. Mat Rambo lantas kain panjang berwarna hitam. Ditalikannya kain itu di kening. Sorot mata yang sayu namun tajam, mengingatkan kepada Sylvester Stallone. Bahkan seluruh gaya yang diperagakannya sebelum beraksi mirip-mirip John Rambo dalam film First Blood. Mungkin karena tingkah macam ini dia lebih dikenal dengan nama Mat Rambo.

“operasi siap dimulai, bawalah target satu-persatu,” Mat Rambo berkata tenang kepada Rahman, tanpa senyum sedikit pun.

Mendengar titah komandan, Rahman bergegas memanggil dan mengawal target hingga ke pintu ruangan Mat Rambo. Tak lama kemudian –

CPLAKKK !!!

Putus sudah kemaluan sang target.  Mat Rambo dengan tangkas menunaikan keahliannya. Dan ketika sang target keluar dari ruangan, Rahman menyambut dengan cengengesan.

“nah, nggak sakit, kan ? bocah bagus .. bocah bagus .. terima balon ini dan lepaskan ke udara. Kau sudah dewasa sekarang, sudah boleh naksir cewek,” Rahman berujar bangga sambil mengulurkan balon kepada sang korban, dan sang korban hanya bisa tersenyum kecut sambil menerimanya uluran tangan Rahman. Balon udara kemudian dilepas ke udara. Semua yang hadir bertepuk tangan dengan gembira.

Satu persatu target dipanggil. CPLAKKK !!! putus sudah. Target berikutnya dipanggil lagi. CPLAKKK !!! . Satu persatu giliran dijalani, tetapi, setiba giliran si Cuplis –bocah bengal itu malah mempersilakan yang lain dengan bermacam alasan. Hingga tibalah giliran terakhir –

“masih ada lagi ?” ujar Mat Rambo. Dingin. Gayanya serupa John Rambo yang masih butuh lawan untuk ditembak.

“masih satu lagi, Bos. Si Cuplis,” timpal Rahman

“hmm .. bocah kumisan itu sudah kabur dariku tujuh kali. Jangan sampai yang ke delapan,” sahut Mat Rambo, masih tanpa senyum.

“bawa dia kemari,” perintahnya

Usai memberi perintah kepada Rahman, Mat Rambo kemudian tengkurap dan melakukan gerakan push-up. Rahman-lah yang tergopoh menjemput Cuplis.

“jangan kau ingkari janjimu, Plis ! aku takkan lupa !” Rahman berang menjumpai Cuplis bersiap melarikan diri. Wajah Cuplis pucat.

Rahman lantas menggamit lengan kanan Cuplis. Bocah bengal itu tak mampu berontak.

“kawan-kawanmu yang jauh lebih kecil sudah menerbangkan balonnya ! kapan lagi punyamu jika tidak sekarang !!” aku geli sekaligus kasihan menyaksikan Cuplis dibekuk Rahman.

Wajah Cuplis kian tegang. Keringan sebesar biji jagung bermunculan di keningnya. Kurasa Cuplis menghadapi ketakutan terbesar dalam hidupnya. Tiba-tiba –

“baiklah, Paklik ! aku menyerah !” ujar Cuplis, sembari tangannya mengipat-ngipat minta dilepaskan. Rahman akhirnya luluh.

“Bagus, jangan mempersulit dirimu,” Rahman tersenyum culas dan melepas pegangan tangan.

“aku menaruh kepercayaan besar kepadamu. Karena itu kuberikan balon udara sekarang juga –sebagai symbol  bahwa kau telah dewasa.” ujar Rahman, sok bijak.

“terserah balon ini kau terbangkan sekarang atau nanti –aku tak menuntut,” Rahman memasang wajah andalannya. Wajah bayi. Tapi –

“mana !” Cuplis merampas benang balon di tangan Rahman. Wajah Rahman yang dibuat-buat kian membuatnya jengkel.

“aku mau ketemu Mat Rambo !” suara Cuplis terdengar nekat. Benang pengikat balon udara ditariknya pelan-pelan.

Rahman dan Cuplis akhirnya memasuki ruang kekuasaan Mat Rambo, Mat Rambo menatap Cuplis tanpa ekspresi. Tubuh Mat Rambo mengkilap berkeringat, push-up 250 kali dilakoninya sambil menanti kedatangan target bebuyutan.

“duduklah,” aksen John Rambo terdengar dari mulut Mat Rambo. Bibirnya sedikit mencong saat mengucap.

“lepaskan balonmu, Plis.” Bisik Rahman kepada Cuplis, tapi Cuplis menggeleng. Rahman menjadi jengkel.

“Biarkan dia, Man. Dulu kau juga seperti dia,” Mat Rambo menimpali bisikan Rahman. Muka Rahman memerah. Mat Rambo lantas menepuk-nepuk punggung Cuplis.

“kau mesti tahu. Rahman baru berani disunat saat umur 17 tahun. Sungguh memalukan. Bulu burungnya gombyok tak karuan,”

Tawa Cuplis seketika meledak, kebekuan wajahnya mencair. Sedangkan Rahman terpukul –wajahnya serupa kucing habis dikebiri.

“angkat sarungmu, Plis” Mat Rambo tak sabar ingin menuntaskan misi, sedangkan Cuplis terus tertawa. Tangan kiri Cuplis spontan bergerak menyingsing sarung, sementara tangan kanannya memegang benang balon.

“kau tak perlu khawatir, sunatanku tak terasa sama sekali, paling-paling seperti digigit gurem,”

Tangan kiri Mat Rambo lantas merogoh sarung Cuplis, sedang tangan kanannya  memegang erat calak bamboo.  Begitu kemaluan Cuplis terpegang –tawa Cuplis seketika mereda.

Kepanikan menyergap Cuplis. Wajahnya pucat. Rahman yang berdiri di sebelah Mat Rambo ikut-ikutan menahan nafas.

Keringat dingin bermunculan di kening Cuplis, tangan kanannya tak sadar menggulung benang balon sedikit demi sedikit –hingga balon itu akhirnya terpegang kedua tangannya.

“tahan, Plis. Tahan  ..” Mat Rambo menarik kemaluan Cuplis, ujungnya diregangkan.

Bibir Mat Rambo komat-kamit merapal matra. Tangan Cuplis kian erat memegang balon. Mencengkeran.

Mat Rambo meletakkan calak bamboo di ujung kemaluan Cuplis. Bibirnya terus komat-kamit merapal mantra, matanya memejam.

“cucuk manuk –cucuk manuk mibero .. cucuk manuk –cucuk manuk mibero .. wush uwush uwush ..”

Tangan Cuplis kian kuat mencengkeram. Dadanya berdentaman tak karuan. Menyaksikan Mat Rambo komat-kamit membuatnya ngeri. Dirasanya calak bamboo telah terpasang di kemaluannya. Mendadak –

DHUARR !!

CPLAKKK !!

“wadawwwww !!” jerit Cuplis

“wadhuh biyung !! buntung ! buntung ! kebablasan !”

“Huwaaaaaa !!! huwaaaaaa!!” Cuplis menangis sejadi-jadinya. Letusan balon mengacaukan masa depannya.

Gayung Kebonsari, 2011